Selasa, Oktober 21, 2008

Mochtar Lubis: Ciri-ciri Manusia Indonesia > Tantangan Pendidikan (Budi Pekerti) Nasional


Mochtar Lubis


Ceramah budaya berjudul "Manusia Indonesia" yang dilisankan oleh Mochtar Lubis pada tahun 1977 dan dibukukan dengan judul "Manusia Indonesia" oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 2001 ini masih aktual hingga kini, tugas setiap pendidik di negeri ini untuk membalik kondisi menjadi lebih baik dan bermartabat di mata dunia dan peradaban yang menjunjung tingi nilai-nilai etika dan moral.

::

Menurut Mochtar,

Ciri pertama manusia Indonesia, hipokrisi atau munafik.
Di depan umum kita mengecam kehidupan seks terbuka atau setengah terbuka, tapi kita membuka tempat mandi uap, tempat pijat, dan melindungi prostitusi. Banyak yang pura-pura alim, tapi begitu sampai di luar negeri lantas mencari nightclub dan pesan perempuan kepada bellboy hotel. Dia mengutuk dan memaki-maki korupsi, tapi dia sendiri seorang koruptor. Kemunafikan manusia Indonesia juga terlihat dari sikap asal bapak senang (ABS) dengan tujuan untuk survive.


Ciri kedua manusia Indonesia, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Atasan menggeser tanggung jawab atas kesalahan kepada bawahan dan bawahan menggeser kepada yang lebih bawah lagi. Menghadapi sikap ini, bawahan dapat cepat membela diri dengan mengatakan, ”Saya hanya melaksanakan perintah atasan.”


Ciri ketiga manusia Indonesia berjiwa feodal.
Sikap feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan organisasi kepegawaian. Istri komandan atau istri menteri otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat memimpin. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar kritik dan bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan.


Ciri keempat manusia Indonesia, masih percaya takhayul.
Manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung, dan keris mempunyai kekuatan gaib. Percaya manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan ”mereka” agar jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesajen.
”Kemudian kita membuat mantra dan semboyan baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang adil dan merata, insan pembangunan,” ujar Mochtar Lubis. Dia melanjutkan kritiknya, ”Sekarang kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern. Modernisasi satu takhayul baru, juga pembangunan ekonomi. Model dari negeri industri maju menjadi takhayul dan lambang baru, dengan segala mantranya yang dirumuskan dengan kenaikan GNP atau GDP.”

Ciri kelima, manusia Indonesia artistik.
Karena dekat dengan alam, manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang dituangkan dalam ciptaan serta kerajinan artistik yang indah.


Ciri lainnya, manusia Indonesia tidak hemat, boros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta.
Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali terpaksa. Ia ingin menjadi miliuner seketika, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya dapat pangkat. Manusia Indonesia cenderung kurang sabar, tukang menggerutu, dan cepat dengki. Gampang senang dan bangga pada hal-hal yang hampa.
Kita, menurut Mochtar Lubis, juga bisa kejam, mengamuk, membunuh, berkhianat, membakar, dan dengki. Sifat buruk lain adalah kita cenderung bermalas-malas akibat alam kita yang murah hati.

Selain menelanjangi yang buruk, pendiri harian Indonesia Raya itu tak lupa mengemukakan sifat yang baik. Misalnya, masih kuatnya ikatan saling tolong. Manusia Indonesia pada dasarnya berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar dan punya otak encer serta mudah dilatih keterampilan. Selain itu, punya ikatan kekeluargaan yang mesra serta penyabar.

::

Perjuangan pendidikan belum selesai karena ciri-ciri Manusia Indonesia tersebut berurat akar dan berterima secara masif dan permisif. Satu-satu cara mengawalinya adalah dari diri kita sendiri, berubahlah sekarang juga dengan latihan dan penuh kesabaran..

::

Dari tepian Sungai Martapura, 21 Oktober 2008


Tidak ada komentar: